Jumat, 11 Januari 2013
08. Persahabatan
Sahabat Sejati adalah
cerita yang berceritakan seorang dengan sahabat sejati yang tidak di makan oleh
usia jaman. seperti lagu berbunyi persahabatan seperti kepompong mulai jadi
ulat akan jadi kupu kupu itu merupakan kata mutiara persahabatan yang sangat
erat dan tidak bisa di pisahkan setelah update cerpen islami buat sobat yang
pengen membaca cerpen persahabatan yang berjudulkan sahabat sejati yang di
ambil dari sumber cerita-anak.blogspot.com. cerpen persahabatan ini
berceritakan sahabat juga bisa seperti kedekatan tapi melebihi seorang teman
dan pacar. Cerpen Persahabatan border= “Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara
seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari
mengejarnya dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.
“Begini, aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas
plastik kepada Amanda. Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya,
“Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?” “Tidak, ee...,
maksudku, aku suka sepatu itu.” “Lantas mengapa sepatu ini kamu kembalikan
kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”, tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti,
dia ragu-ragu untuk meneruskannya. “Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi. Nisa
teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari
sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di
dapur. “Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk
masakannya di panci, “Lihat apanya?” “Lihat ini dong Bu, bagus sekali kan”,
kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, menunjukkan sepatu baru yang sedang
dipakainya. Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali
sepatu yang kau pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?” “Ah Ibu, ini
sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira. “O begitu. Lho, jadi kamu sudah
membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang tabunganmu?”,
tanya ibunya. “Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini
aku dapat dari Amanda. Dia yang memberikannya untukku” “Ah masak sih, kok bisa
begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan suka meminta-minta
lho pada teman-temanmu”, lanjutnya. “Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa,
“ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu baru minggu lalu, tapi
ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda menawarkannya
kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda memberikannya
untukku”. “Wah beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda
mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa. “Tentu saja Bu. Mana berani Amanda
memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata
Nisa. “Iya. Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap
memasak. “Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan
gembira”. “Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya. Benar.
Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung
menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti
perkiraan ibunya tadi. “Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat
kembalikan. Kita sudah menerima pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu
tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah
Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah
tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada kita” “Tapi Pak, Amanda
memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri. “Betul. Bapak
tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka
selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak
ada”, kata ayah Nisa dengan sedih. “Mereka tidak mengharapkan balasan dari kita
Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya. “Tidak. Pokoknya sepatu tersebut
harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan menerima
lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi kita tidak
bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka tanpa kita bisa membalasnya.
Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali dan tidak
memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”. “Tapi Pak…”, Nisa mencoba
menawar. “Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah
harus dikembalikan besok”. “Ya Pak’, kata Nisa menyerah. Amanda memandang wajah
Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan sepatu pemberiannya
tersebut. “Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu
simpan saja, tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur. “Tidak bisa. Aku
sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa. “OK. Aku
simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi, kamu
boleh mengambilnya lagi” “Baiklah Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang
sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu. Keesokan
harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah
tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi
pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa: “Anak-anak, ada kabar buruk. Pak
Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi. Beliau terluka parah
dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup banyak. Bapak
akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak Ahmad. Kalian
dibolehkan pulang lebih awal.” Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk
pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju ke tempat ayahnya
biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya menunggu calon
penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.
Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di
mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya,
seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah.
Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan
sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para
guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik. “Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata
Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat bantuan Pak
Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”. “Ah tidak Pak, itu memang
sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak
Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami mampu membalasnya”, kata
ayah Nisa. “Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan
semuanya selama ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan
sering membantu Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira
itu sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa
saya”, kata ayah Amanda sambil tersenyum. “Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan yang tak terhitungkan selama ini”, kata Pak
Arif. Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan
kedua orang tua mereka. “Kalau begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya
kepada Nisa”, tanya Amanda. “Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak
Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya. “Horeeeeeeeeee”, teriak
Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira. “Ha….ha….ha….”,
ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu. Ok
teman... semoga saja ya kamu senang dengan kehadiran cerpen persahabatan
diatas. Kalu ada kesempatan lain, akan saya tambahkan lagi tulisan-tulisan
tentang cerpen di blog Karo Cyber. Pokoknya sering-sering aja yach berkunjung
ke blog ini. Salam..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar