Jumat, 11 Januari 2013

10. MENANTI KABAR AYAH


Aku duduk menantang angin malam, sendirian. Ini sudah malam ke-empat aku termangu di balkon rumahku, menunggu Ayah.
Ayahku pergi lima hari yang lalu kesuatu tempat di luar kota, dan dua hari setelah keberangkatan Ayah, terjadi gempa hebat yang meluluhlantahkan hampir seluruh daerah di kota kecil itu, kota tempat tujuan Ayah.
Hampir seluruh tetangga iba melihatku, anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir sepekan ini menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu kabar kepastian sang ayah.
***
Pagi ini adalah hari kesembilan setelah berita kejadian gempa itu, namun aku belum mendapatkan kabar tentang Ayah. Setelah menyuapi ibu sarapan pagi, aku kembali melakukan ritual yang sudah lebih dari sepekan ini aku lakukan, memeluk lutut di balkon rumahku, tak sabar menanti kepastian kabar Ayah.
Setiap hari, jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat jika mengingat betapa dahsyatnya gempa itu. “Apakah Ayah selamat? Atau….” Kalimat semacam itu yang selalu membanjiri hampir seluruh isi kepalaku. Lalu seutas doa terpanjat dalam hatiku, selalu, kemudian kuamini.
Kadang, tubuhku bercucuran keringat dingin, itu ketika aku mengingat masa-masa bersama Ayah. Aku gelisah. Mengapa aku belum juga mendapat kabar tentang Ayah? Lalu seperti biasa, sebait harapan kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba ada keramaian yang membuyarkan lamunanku. Rangkaian kenangan tentang Ayah terurai seiring semakin kencangnya suara sirine ambulance.
Tepat di depan rumahku, sebuah mobil putih berhenti. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat, tak terkendali. Denyut nadiku tak berirama lagi. Tanganku gemetar, dan basah.
Sudah sembilan hari aku menunggu, dan akhirnya aku akan melihat lagi wajah Ayah. Aku yakin, sangat yakin bahwa Ayah ada didalam mobil putih itu.

Sambil mencoba mengatasi segala macam kekacauan yang kurasakan, aku setengah berlari menuruni jajaran anak-anak tangga yang entah mengapa terasa lebih banyak dari biasanya.
Aku membuka pintu depan. Sepertinya aku sudah ditunggu.
Entah dengan ancang-ancang atau tidak, seorang wanita memelukku erat, sangat erat. Sampai-sampai luka dibagian punggungku yang sudah hampir sembuh, terasa sakit kembali saat wanita itu mengelus-elusnya sambil samar-samar berkata “Sabar ya! Kamu yang sabar!” ditengah-tengah isakannya. Aku merasa ada yang menetes di dahiku, air mata wanita itu rupanya.

Wanita itu melepas pelukannya, tapi akupun tak melakukan apa-apa selain berdiri di depan wanita yang merupakan tetangga terdekatku tadi. Aku menyapu sekeliling rumah dengan pandanganku, ada banyak sekali warga. Wajah mereka murung, sedih, dan bahkan ada beberapa yang pipinya dibasahi air mata.
Kini jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku mulai menerka-nerka apa yang kira-kira terjadi pada Ayah. Entah bagaimana mimikku saat ini, aku bahkan tak sempat mengaturnya.
Sejurus kemudian, lewatlah empat orang pria berpakaian putih. Sepertinya para perawat. Mereka membawa… errr… entahlah, aku tak tahu apa nama besi persegi panjang itu, tapi aku tahu diatasnya terdapat seseorang yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut. Apakah itu Ayah? Bahkan aku masih bertanya-tanya.
Wanita tadi lalu menuntunku masuk ke dalam ruang tamu rumahku yang saat ini sangat ramai, kontras dengan hatiku yang hampa.
Aku duduk tepat disamping seseorang yang berbaring itu. Pikiranku kosong sesaat, bahkan aku seperti tidak bisa merasakan apa-apa.
Perlahan, wanita tadi membuka selimut yang menutupi wajah… Ayah! Dia benar-benar ayahku! Salah satu korban gempa yang dinyatakan tewas. Wajahnya sangat pucat dan dipenuhi luka-luka mengerikan.
Walaupun aku sudah sempat menerka-nerka, tetap saja berbeda saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri wajah Ayah. Ayahku kini hanya tinggal jasad. Nafasku sepertinya berhenti.
Entah apa yang menjadi pemacu otot-ototku, aku berdiri dan pergi menerobos kerumunan orang-orang yang kutahu pasti merubah pandangannya terhadapku, dari iba, menjadi heran.
Tapi aku tak peduli. Seperti halnya aku tak peduli dengan keadaan tubuhku. Aku tak merasa pincang kali ini, semua luka-luka ditubuhku pun hilang sakitnya. Kurasa, aku mati rasa.
Ah, persetan dengan apa itu yang disebut rasa. Aku terus berlari menuju kamar paling belakang, tempat ibuku berada. Aku tau rumahku memang cukup besar, tapi sepertinya jarak antara ruang tamu dan kamar ibuku tidak sejauh ini. Kali ini jarak kedua ruangan itu, entah mengapa, jauh lebih jauh.

Aku sampai. Lalu masuk kedalam ruangan besar itu. Sambil mengatur nafas, aku berjalan menuju ke salah satu sudut kamar, tempat dimana ibuku duduk lemas disana.
“Ibu…” panggilku pelan sesaat setelah kakiku berhenti melangkah, aku berada kira-kira 1 meter di depan Ibu.
Ibu menatapku kosong.
Kuhela nafas panjang. “Dia sudah pulang,” ucapku kemudian.
Mata Ibu melebar, walau tetap kosong. Wajahnya terangkat. Aku tahu ia sangat terkejut mendengar kabar yang aku berikan. Tampak sedikit kecemasan dari raut wajah pucat pasinya.
“Tanpa nyawa…” aku melanjutkan kalimatku. “Dia… tewas.” Titik. Aku tahu Ibu tak memerlukan penjelasan apa-apa lagi.
Wajah cemas Ibu seketika berubah cerah saat seutas senyum lega menghiasi wajahnya.
Aku pun tersenyum, sama lepasnya dengan senyum Ibu. Senyum yang sudah sangat lama tak nampak diwajahku, ataupun Ibu.
Jujur, aku tidak pernah sebahagia ini. Terlebih bisa melihat wanita yang selama ini menanggung perih yang sangat dalam, akhirnya tersenyum.

Aku menghampiri kursi roda Ibu dan mendoronnya keluar kamar, menuju ruang tamu.
“Gak sia-sia penantian kita, Bu. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa kita. Mulai hari ini, hidup kita bebas dari manusia laknat itu,” ucapku pada seorang wanita paruh baya yang cacat dan buta, karena kelakuan setan sang suami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar