Jumat, 11 Januari 2013

06. Angin Menabuh Daun-daun


Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong, beku di dekat Bapak.
Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak sempat menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya. Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.
Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri. Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya. Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang lama menggoda dalam mimpinya.
Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak menghasilkan tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik itu.
Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan ini, dia mulai rewel. Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia merasa sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah, dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar